oleh : Nafi’ A. Putrawan
Fintech diproyeksikan akan menjadi faktor strategis untuk inklusi masa depan keuangan global. Fintech merupakan singkatan dari financial technology yang memiliki misi untuk mendisrupsi sistem keuangan menjadi lebih inklusif, transparan, dan fleksibel.
Fintech yang ada Indonesia diawasi oleh Bank Indonesia dan OJK dalam regulasi dan operasionalnya (hal ini di luar perdebatan bahwa fintech seharusnya melawan arus sistem keuangan global). Tulisan saya mengenai Fintech dapat dibaca disini.
Menurut perusahaan riset Jerman, Statista, nilai transaksi platform fintech di Indonesia diharapkan mendekati USD37.15 pada tahun 2021. Begitu juga melalui Ernst&Young percaya Indonesia merupakan salah satu negara yang memimpin ASEAN dalam hal fintech. Indonesia dengan jumlah populasi dewasa sekitar of 173 juta penduduk yang tersebar diantara 17.000 kepulauan, adalah contoh primer, dan bukan hanya skala APAC, namun cerminan negara berkembang di seluruh dunia.
Bank di kawasan APAC (Asia-Pasifik) saat ini sedang menyusun strategi agar eksistensinya tidak kalah dengan fintech. Bank DBS yang dinobatkan sebagai bank swasta dengan penggunaan teknologi terbaik berskala global versi PWM/The Banker Magazine, telah sukses menyelenggarakan program akselerator untuk fintech berbasis startup di Hong Kong.
Dalam skala nasional, pada kuartal dua tahun 2016 salah satu bank milik BUMN telah menggelar akselerator dan memfasilitasi pemain fintech nasional, harapannya agar fintech yang ada bisa menjadi partner strategis di masa depan.
BRI (Bank Rakyat Indonesia), BCA (Bank Central Asia), Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia, telah menandatangani kesepakatan perencanaan dalam pembayaran satu pintu nasional (National Payment’s Gateway) yang ditujukan untuk memudahkan interopabilitas pada perbedaan nasabah kartu debit dan kredit. Bank BCA misalnya, telah menyiapkan pendanaan sebesar Rp. 200 miliar untuk CCV (Central Capital Ventura) dalam mendukung startup dan perusahaan fintech.
Realita di Lapangan
Fintech mungkin terdengar seksi bagi manajemen strategis di bidang keuangan, dan banyak bank di Indonesia yang ingin merasakan kolaborasi ini. Namun, ada hal yang urgensitasnya lebih tinggi daripada membicrakan peluang fintech, yaitu realita pendokumentasian rekod di perbankan.
Ketika manajemen rekod (kearsipan) perbankan belum menjadi titik fokus, inovasi tidak akan berjalan dengan baik, termasuk fintech. Jika data rekod perusahaan saja belum dihargai, bagaimana mungkin pengembangan inovasi menjadi akuntabel dan transparan di masa depan? Padahal, integrasi perbankan dengan fintech di masa depan memerlukan tingkat temu kembali informasi yang tinggi, otorisasi dengan alur yang perlu diperhatikan dalam setiap titiknya, sebelum nantinya membahas jutaan transaksi pada perbankan maupun fintech itu sendiri.
Mungkin masih banyak kalangan yang menganggap permasalah manajemen rekod adalah masalah sepele. Namun inilah yang masih terjadi pada sekian banyak bank-bank
2
BPD maupun BUMN di Indonesia. Bahkan hingga kini, masih banyak data dan dokumen perbankan yang tersimpan di dalam karung padahal masih digunakan.
Dalam seminar dan workshop nasional kearsipan perbankan (FKKP) tahun lalu yang dihadiri oleh puluhan lembaga keuangan bank dan non-bank yang diadakan oleh Bank Indonesia, para manajer berbagi pengalaman apa yang dialami di organisasinya.
Mereka menyebutkan, manajemen rekod adalah hal mendasar yang seringkali dilupakan oleh para eksekutif perbankan dalam rencana strategisnya. Sebaiknya jangan bicara fintech ketika manajemen rekod yang ada belum sepenuhnya diatasi dengan baik. Semua hal tentang fintech tidak masuk akal jika manajemen rekod perbankan masih dipandang sebagai less priority oleh para board of director.
Membangun awareness para eksekutif untuk membangun sistem kearsipan yang baik menjadi bahasan utama di sesi tanya jawab dalam workshop tersebut. Selama ini, para manajer kearsipan seringkali kesulitan untuk mengajak para eksekutifnya berinovasi di bidang kearsipan. Bukan hanya itu, para manajer banyak yang melakukan inisatif dalam pembuatan semua mekanisme kearsipan tanpa banyak andil dari eksekutif/BoD.
Tantangan dan Peluang
Para manajer kearsipan perbankan banyak yang mengeluhkan struktural divisinya yang mayoritas masih di bawah bidang yang artinya belum di tingkat fungsional. Padahal, keunggulan dari penempatan divisi kearsipan menjadi bagian fungsional akan memudahkan para eksekutif melakukan pembacaan insight terhadap perkembangan organisasinya.
Hal menarik yang diceritakan oleh para manajer yaitu awareness para eksekutif akan terbangun seketika saat mendengar kata “audit”, terlebih dari OJK. Tidak perlu membutuhkan satu hari setelah mengetahui akan ada audit, mereka menyadari untuk segera melakukan pembenahan sistem dan document retrieval.
Ketika berbicara manajemen risiko, para arsiparis bisa mengetahui sektor-sektor strategis untuk menjual jasanya seperti akibat dari data loss dan distaster recovery dan desain rekod center yang aman. Terlebih di era business intelligence saat ini, kesadaran eksekutif terhadap data yang mereka miliki seharusnya bisa lebih ter-encourage melalui event seperti workshop atau training berkala, yang bisa diadakan dengan bekerjasama dengan para vendor kearsipan atau data manajemen. Lebih baik lagi jika manajer kearsipan bisa mengetahui perkembangan teknologi dan mengundang vendor seperti IBM, Microsoft, Oracle, maupun vendor independen lainnya.
3
Proses digitalisasi dan automasi pendataan rekod juga tidak lepas dari perhatian para manajer yang hadir di forum. Mereka menginginkan sistem manajemen kearsipan yang bisa memenuhi kebutuhan mereka dalam pekerjaan sehari-hari, mengingat arus rekod dan data perbankan cukup tinggi.
Bagi saya pengembang aplikasi, hal ini adalah market share yang masih cukup prospektif untuk diperhatikan dalam bidang digitalisasi berbasis aplikasi SaaS berlangganan. Mulai dari proses scanning, retrieval, log, audit, workflow dokumen, hingga hingga retensi yang disesuaikan dengan UU dan prosedur internal.
Saat proses workflow dokumen telah berjalan dengan baik, integrasi antara pihak dari berbagai vendor fintech akan lebih mudah. Manajemen proyek, timeline, partnership, akan tersusun rapih semua pencatatannya dan penempatannya. Bahkan, dokumen yang telah memenuhi standar memungkinkan bisa diretrieve oleh pengembang aplikasi fintech melalui konektor Application Progamming Interface.
Sumber:
https://www.bloomberg.com/professional/blog/indonesia-surfs-fintech-wave- financial-inclusion/
https://www.dbs.com/indonesia- bh/newsroom/DBS_ACCELERATOR_SPARKS_FINTECH_INNOVATION